IMG-20160306-WA00121

Seperti peserta malam penggalangan dana Papua Muslim Care lainnya, Sandhi Yudhanto terhanyut dalam acara yang diselenggarakan Badan Wakaf Alquran (BWA) di Balai Kartini Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin, 9 Januari 2009. Apalagi tatkala tampil dai asal Papua Ustadz Fadzlan Garamathan yang menceritakan pengalamannya berdakwah dan mengislamkan ratusan kepala suku dan ribuan warga pelosok Papua. Di tambah lagi, adanya tayangan dokumentasi prosesi masuk Islam dan betapa semangatnya para mualaf tersebut mempelajari Islam, ah siapa yang tak meneteskan air mata haru.

Namun ketika diungkap bahwa para dai di sana memerlukan kapal dakwah serta puluhan ribu Al-Qur’an untuk membinaanya. Dan untuk pengadaannya tentu saja membutuhkan wakaf dari kaum Muslimin, lelaki yang diajak ke acara oleh guru ngajinya tersebut sempat kaget juga.

Pasalnya, lelaki kelahiran Semarang, 8 Agustus 1987 masih status mahasiswa. Rasanya berat baginya mengeluarkan sebagian harta untuk berwakaf, lagipula dengan status sebagai mahasiswa yang pasti masih membutuhkan uang tersebut untuk keperluan lainnya. “Namun, Alhamdulillah, bisa menata hati untuk niat wakaf karena Allah,” ujar Sandhi yang kala itu masih kuliah di semester terakhir Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Jakarta.

Itulah pengalaman pertama Sandhi berwakaf. Dan sejak saat itu pula, hati Sandhi mudah tergerak untuk berwakaf dan sedekah.  Karena selain pahala yang mengalir tiada akhir selama benda yang diwakafkan tetap digunakan seperti dalil-dalil yang dijelaskan para dai yang diundang  BWA dalam acara tersebut, Sandhi juga menyadari “memang dalam rezeki yang kita punya ada sebagian hak orang yang membutuhkan.”

Sayangnya, setelah acara tersebut, tidak dihubungi oleh pihak BWA, sampai ia lulus kuliah dan sudah bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Untung saja, selama itu pula, ia tetap menyisihkan sebagian rezeki ke pihak yang membutuhkan walaupun tidak melalui BWA.

“Kemudian, sekitar tiga tahun kemudian barulah ada pihak BWA, yakni Mbak Fia, menghubungi saya untuk menyalurkan wakaf dan zakat melalui BWA. Alhamdulillah bisa bertahan sampai sekarang,” ujar warga Jalan Mandasia Raya No 395, Perumnas Krapyak, Semarang, Jawa Tengah.

Suami dari Nurma Iin dan ayah dari dua anak tersebut mengaku bukan masalah program BWA mana yang paling disukainya, tetapi yang paling menarik baginya adalah lokasi penyalurannya. Dan ia paling tertarik bila programnya disalurkan ke Indonesia timur.

“Karena saya pernah bekerja selama sekitar 5,5 tahun di NTT. Jadi bisa sedikit banyak tahu kondisi daerah Indonesia timur,” pungkas sarjana lulusan Universitas Terbuka 2014.[]