Hubungan yang muncul dari pertemuan antara pria dan wanita dan berbagai permasalahan yang diturunkan dari pertemuan tersebut merupakan bagian dari Sistem Pergaulanan dalam Islam. Diantaranya adalah masalah pernikahan, talak, masalah-masalah anak, nafkah dan lain-lain. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan antara pria dan wanita salah satunya adalah pernikahan. Dari pernikahan ini merupakan penampakan bagi gharizah an-nau’ diantaranya adalah hubungan keibuan, kebapakan, kesaudaraan, keanakan, kebibian, dan kepamanan, hal ini merupakan menifestasi dari gharizah an-nau’.

Dari sini hubungan yang muncul sebagai pertemuan wanita dengan pria juga meliputi hubungan keibuan, kebapakan, dan sebagainya itu, disamping perkawinan (pernikahan). Dalam kontek ini maka syariah Islam mendatangkan hukum-hukum tentang hubungan keanakan, kebapakan, keibuan dan sebagainya, termasuk mendatangkan hukum-hukum tentang hubungan perkawinan (pernikahan).

Perkawinan (pernikahan) tersebut untuk mengatur manusia dalam menyalurkan gharizah an-nau’nya (naluri seksual) secara benar. Dengan kata lain perkawinan (pernikahan) merupakan pengaturan pertemuan antar dua jenis kelamin, yakni pria dan wanita dengan aturan khusus. Peraturan tersebut mewajibkan agar keturunan yang dihasilkan hanya dari hubungan perkawinan (pernikahan) saja. Melalui perkawinan (pernikahan) tersebut akan terealisir perkembang-biakan umat manusia.

Dengan perkawinan (pernikahan) itu akan terbentuk keluarga. Berdasarkan semua inilah dilangsungkan pengaturan kehidupan khusus.

Definisi Nikah

Nikah secara syar’i adalah suatu akad yang mengandung konsekuensi dibolehkannya pasangan suami istri untuk bersenang-senang antara satu dengan yang lainnya dengan cara yang diizinkan oleh syari’at.

Islam telah memberikan dasar (dalil) tentang perkawinan (pernikahan) tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’. Dalil dari Al-Qur’an diantaranya Firman Allah SWT yang artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan permpuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (TQS An-Nur ;32).

Dan Sabda Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan  dari Ibn Mas’ud RA, ia menuturkan : Rasulullah SAW pernah bersabda :

“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya.” (Muttafaq ‘alayhi)

Qatadah juga menuturkan dari riwayat al-Hasan, yang bersumber dari Samurah :

“Anna Annabiya Sholallahu  ‘alayhi was Salam nahaa ‘an at-tabauli.”

Artinya : “Bahwa Nabi SAW telah melarang hidup membujang.” (HR. Ahmad)

Bahkan nikah merupakan sunnahnya para Rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya) :

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (TQS ar-Ra’d [13]:38).

Hikmah Perkawinan (Pernikahan)

Dalam pernikahan mengandung hikmah yang besar. Allah SWT berfirman yang artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia (Allah) menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (TQS Ar-Rum ; 21).

Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan hikmah dari pernikahan yaitu agar terwujud ketenteraman dan ketenangan ketika seseorang bersama istrinya. Selain itu, dengan menikah akan lebih terjaga kemaluan, menjaga nasab, dan memperbanyak jumlah kaum muslimin.

Kriteria Calon Istri

Dalam Islam seorang pria dianjurkan menikahi perempuan yang memiliki agama yang baik, yaitu perempuan yang paling memahami Islam dan mengamalkan ilmunya dalam kehidupannya. Kriteria lain adalah wanita yang pandai menjaga kehormatannya, berasal dari keluarga dan nasab yang baik, serta memiliki kecantikan. Sebagaimana hadist dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Perempuan dinikahi karena 4 hal: hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ibnu Hajar menuturkan, sudah seharusnya kriteria agama menjadi pertimbangan pertama dan utama dalam segala hal. Terlebih dalam memilih istri. Pesan Nabi SAW dalam memilih istri hendaklah yang paling baik agamanya, karena agama yang baik itu merupakan puncak yang dikehendaki syari’at (lihat Fathul Bari), oleh sebab itu dalam memilih calon istri agama dijadikan ukuran utamanya agar mendapat keberkahan dan keberuntungan dari Allah SWT. Syukur-syukur bisa mendapatkan calon istri yang memiliki keempat kriteria tersebut.

Rasulullah menganjurkan dalam memilih calon istri yang subur (tidak mandul), sebagaimana hadist Rasulullah dalam sabdanya : “ Menikahlah kalian dengan perempuan yang sangat penyayang dan subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat” (HR. Abu Dawud dan An-Nasaa-i. Al-Albani mengatakan, “hasan shahih).

Khitbah (Lamaran)

Khitbah / lamaran merupakan aktivitas menampakkan keinginan dan keseriusan seorang pria untuk menikah dengan perempuan yang menjadi calon isterinya dengan memberitahu kepada wali dari perempuan tersebut untuk mengutarakan maksud dan keinginannya tersebut. Dalam hal ini Islam telah mengatur hukum-hukum yang berkaitan dengan khitbah / lamaran, diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Haram mengkhitbah / melamar wanita yang sudah di lamar oleh saudara muslim yang lain. Sebagaimana Sabda Rasulullah, “Janganlah seorang laki-laki melamar wanita yang telah dilamar saudaranya, hingga saudaranya itu menikahinya atau meninggalkannya” (HR. Bukhari). Namun jika lamaran belum jelas di terima atau tidak, maka tidak mengapa bagi laki-laki untuk melamar wanita yang sama (lihat Fathul Bari).
  2. Tidak boleh melamar wanita dalam kondisi iddah karena berpisah dengan suaminya (baik karena cerai talak tiga atau ditinggal mati) secara terang-terangan. Namun dibolehkan memberikan isyarat kepada perempuan tersebut. Sebagaimana Firmsn Allah SWT yang artinya: “Dan tidak ada dosa bagikamu meminang wanita-wanita (yang masih dalam masa ‘iddah) itu dengan sindiran” (TQS. Al-Baqarah :235). Sebagai contoh seorang laki-laki mengatakan kepada wanita yang ditinggal mati suaminya dengan perkataan : “Aku berharaf agar Allah memberikan kemudahan bagiku untuk memiliki istri yang shalihah”, tanpa menyebut nama perempuan tersebut.
  3. Lamaran merupaka janji untuk menikah sebagai permulaan menuju pernikahan. Sehingga seorang yang melamar, status hubungannya masih sebagaimana laki-laki dan wanita yang ajnabi (bukan mahrom), maka tidak boleh berdua-duaan dan bersentuhan satu dengan yang lainnya, karena hukumnya haram dilakukan.

 

Syarat Dan Rukun Nikah

Menikah merupakah sunnah Rasul SWT, agar pernikahan menjadi syah dihadapan Allah SWT maka harus diperhatikan syarat dan rukun nikah untuk dipenuhi bagi calon mempelai, Syarat yang harus dipenuhi antara lain :

  1. Harus diketahui secara jelas nama atau sifat dari masing-masing pasangan yang akan menikah. Tidak boleh seorang wali menikahkan anaknya dengan perkataan umum, seperti “saya nikahkan engkau dengan salah seorang putriku”, padahal ia mempunyai anak perempuan lebih dari satu yang semuanya belum menikah. Oleh sebab itu harus disebutkan secara jelas seperti dengan nama atau sifat yang bisa membedakan antara anak-anaknya.
  2. Keridhoan dari laki-laki dan perempuan yang akan menikah untuk menerima calon pasanagannya apa adanya. Maka tidah sah menikah dalam keadaan terpaksa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “seorang janda tidak dinikahkan sehingga diminta perintahnya. Dan seorang gadis tidak dinikahkan sehingga diminta izinnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
  3. Adanya wali perempuan. Seorang perempuan tidak boleh dinikahkan kecuali walinya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Tidak ada nikah kecuali dengan wali” (HR. Tirmizi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, Shaih.) Syarat bagi wali adalah laki-laki, baligh, berakal, merdeka, dan secara umum baik agamanya (bukan orang fasik).
  4. Wajib adanya dua orang saksi, maka tidak sah akad nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang beragama Islam, baligh, dan secara umum baik agamanya. Hal ini disabdakan Rasulullah SAW “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang baik agamanya. Jika tidak ada kedua hal tersebut, maka akad nikahnya tidak sah” (HR. Ibnu Hiban, dinilai shahih oleh Ibnu Hazm.
  5. Tidak ada penghalang yang menghalangi sahnya pernikahan, baik dari nasab (yang tidak boleh dinikahi), saudara persusuan, perbedaan agama, dan sebab-sebab yang lainnya.

Sedang rukun nikah yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :

  1. Dua orang yang melakukan akad nikah, yaitu calon pasangan suami istri.
  2. Ijab, yaitu ucapan yang berasal dari wali nikah perempuan atau orang yang menggantikannya.
  3. Qobul, yaitu ucapan yang berasal dari pengantin laki-laki. Ijab harus terlebih dahulu dilakukan sebelum Qobul.

Mahar dan Walimatul ‘urs.

Salah satu kewajiban yang harus diberikan suami kepada istrinya adalah mahar. Mahar adalah harta yang wajib diserahkan suami kepada istrinya karena sebeb akad nikah. Allah SWT berfirman yang artinya “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban” (TQS. An-Nisa : 24). Sedangkan untuk besarnya nilai mahar tidak ditentukan minimal dan maksimalnya.

Sedangkan untuk walimatul ‘urs sebagaimana nasehat Rasulullah SAW kepada Abdurrahman Bin ‘Auf yang baru saja menikah, “ Adakan walimah walaupun dengan seekor kambing” (HR. Bukhori dan Muslim).

Wa Allahu a’lam bi ash-showwab..

(referensi : Nidzom al-ijtima’i fi al-islam, Al Fiqh Al Muyassar fii Dhouil Kitaabi Was Sunnah)

 

Badan Wakaf Al-Qur’an