Hadist Sumber Ketetapan Islam
Seperti dilansir tebuireng.ac.id, menurut Abdul Majid, hadits menurut tinjauan bahasa memiliki beberapa makna diantaranya baru (al jiddah), lemah lembut (ath-thariy) dan bermakna berita, pembicaraan atau perkataan (al-khabr wa al-kalaam). Hadits sebagai kabar tidak bisa dipisahkan dari realitanya, yakni setiap hadits tidak akan pernah lepas dari unsur penyampaian sesuatu atau berita.
Sementara itu, beberapa ulama berbeda pendapat mengenai definisi hadits, di antaranya:
Dalam kitabnya Imdad al-Mughits bi tashili Ulum al-Hadits halaman 16, Lukman Hakim al-Azhariy mendefinisikan hadits sebagai berikut:
ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم قولا أو فعلا أو صفات أو وسمي بذالك مقابلة للقرأن فإنه قديم
Segala sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah SAW baik berupa ucapan, perbuatan, sifat maupun ketetapan. Adapun penamaan tersebut sebagai perbandingan dengan Al-Qur’an sebab Al-Qur’an qodim.
Dalam kitab Muqoddimah Ibnu Sholah halaman 9, Imam Ibnu Sholah menyebutkan hadits sebagai berikut:
ومن العلماء من يزيد تعريف الحديث: وأقوال الصحابة والتابعين وأفعالهم وهو اصطلاح أخر. و يشهد له صنيع كثير من المحدثين فى كتبهم حيث لا يقتصرون على المرفوع إلى النبي صلى الله عليه وسلم وإنما يذكرون الموقوف والمقطوع.
Adapun perkataan dan pekerjaan sahabat atau tabi’in itu masuk dalam istilah lain. Mayoritas ulama hadits tidak membatasi tulisan mereka hanya teringkas pada hadits marfu’(bersandar pada Rasulullah SAW) tapi mereka juga menyebutkan hadits mauquf (bersandar pada sahabat Rasulullah SAW) dan maqtu’ (bersandar pada murid sahabat Rasulullah SAW).
Dari kedua pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa persamaan titik berat hadits adalah sesuatu yang disandarkan pada seseorang. Sementara itu, tingkat perbedaanya terletak kepada siapakah hadits tersebut disandarkan. Terkait ini, ulama juga memiliki perbedaan pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits hanya bersandar kepada perbuatan dan perkataan Rasulullah SAW. Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa hadits tidak hanya disandarkan kepada Rasulullah SAW tetapi juga disandarkan kepada para sahabat Rasulullah SAW maupun tabi’in (murid sahabat Rasulullah SAW).
Hadits memiliki 3 unsur pembangun. Seperti dikutip dari bacaanmadani.com, 3 unsur pembangun dalam hadits dijabarkan sebagai berikut:
1. Sanad
Menurut bahasa, sanad artinya sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Sementara itu, Mahmud at Tahhan mendefiniskan hadits sebagai berikut:
سِلْسِلَةُ الرِّجَالِ الْمُوْصِلَةِ اِلىَ الْمَتْنِ
Mata rantai para perawi hadits yang menghubungkan sampai kepada matan hadits.
Dari definisi ulama Mahmud at Tahhan, sanad merupakan hal krusial sebab sanadlah penentu atau penimbang hadits tersebut dhaif (lemah) atau tidak. Jika pembawa hadits tersebut memiliki kecakapan, bertakwa, tidak fasik, mempunyai daya ingat kuat, sanadnya bersambung dari satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama, maka haditsnya dinilai shahih.
Namun, jika dalam sanad ada yang fasik, tertuduh berdusta atau setiap pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadits tersebut dianggap dhaif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah (dalil).
Contoh sanad adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Ufair berkata, Telah menceritakan kepadaku Al Laits berkata, Telah menceritakan kepadaku ‘Uqail dari Ibnu Syihab dari Hamzah bin Abdullah bin Umar bahwa Ibnu Umar berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda….
2. Matan
Secara bahasa, matan berarti punggung jalan, tanah gersang atau tandus, membelah, mengeluarkan, dan mengikat. Namun, dalam istilah hadits, matan berarti perkataan akhir setelah sanad disebut. Matan adalah isi pokok dari sebuah hadits baik itu berupa perkataan Rasulullah SAW atau perkataan seorang sahabat tentang Rasulullah SAW.
Posisi matan dalam sebuah hadits amatlah penting karena dari matan hadits tersebut dapat diketahui adanya berita dari Rasulullah SAW atau berita dari sahabat tentang Rasulullah SAW, baik menyangkut syariat ataupun lainnya. Contoh matan adalah sebagai berikut:
بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أُتِيتُ بِقَدَحِ لَبَنٍ فَشَرِبْتُ حَتَّى إِنِّي لَأَرَى الرِّيَّ يَخْرُجُ فِي أَظْفَارِي ثُمَّ أَعْطَيْتُ فَضْلِي عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالُوا فَمَا أَوَّلْتَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْعِلْمَ
Ketika aku tidur, aku bermimpi diberi segelas susu lalu aku meminumnya hingga aku melihat pemandangan yang bagus keluar dari kuku-kukuku, kemudian aku berikan sisanya kepada sahabat muliaku Umar bin Al Khathab”. Orang-orang bertanya: “Apa ta’wilnya wahai Rasulullah SAW?” Beliau menjawab: “Ilmu”.
3. Rawi
Rawi merupakan sebutan orang yang memindahkan hadits dari seorang guru kepada orang lain atau mengumpulkan hadits ke dalam buku. Rawi pertama adalah sahabat Rasulullah SAW dan rawi terakhir adalah orang yang membukukan seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, dan lainnya. Pada umumnya nama perawi dibubuhkan pada akhir matan haditsnya.
Syarat-syarat perawi hadits adalah sebagai berikut:
• Bukan pendusta atau tidak dituduh sebagai pendusta.
• Tidak banyak salahnya atau teliti.
• Tidak fasik.
• Tidak dikenal peragu.
• Bukan ahli bid’ah.
• Kuat ingatannya (hafalannya).
• Tidak sering bertentangan dengan rawi-rawi kuat.
• Sekurangnya dikenal oleh dua orang ahli hadits pada zamannya.
Jenis-Jenis Hadits
Sebagaimana dikutip dari makintau.com, jenis-jenis hadits terbagi ke dalam kategori sebagai berikut:
A. Berdasarkan Tingkat Keasliannya
• Hadits shahih
Hadits shahih yaitu hadits yang sudah tidak diragukan lagi keasliannya. Syarat hadits shahih adalah sebagai berikut:
A. Sanadnya bersambung.
B. Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah (kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
C. Pada saat menerima hadits, masing-masing rawi telah cukup umur (baligh) dan beragama Islam.
D. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits (’illat).
• Hadits Hasan
Karakternya hampir sama dengan hadits shahih, namun ada kelemahan di pihak perawinya, biasanya terdapat rawi yang kurang tajam ingatannya.
• Hadits Dhaif
Hadits dhaif (hadits lemah) adalah hadits yang dilihat dari sanadnya. Sanadnya tidak bersambung sebab terdapat perawi yang lemah ingatannya—bahkan beberapa di antaranya pembohong, matan-nya bertentangan dengan Al-Quran, bahasanya jelek, serta mengandung unsur dongeng yang tidak masuk akal.
B. Jenis Hadits Berdasarkan Jumlah Penuturnya
• Hadits Mutawattir
Hadits mutawattir adalah hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang atau sanadnya banyak sehingga tidak mungkin hadits tersebut dusta atau palsu.
• Hadits Ahad
Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih namun tidak memenuhi persyaratan hadits mutawattir.
Hadits Qudsi. Sahabat Wakaf pasti pernah mendengar hadits qudsi. Sebagaimana dilansir konsultasisyariah.com, definisi hadits qudsi adalah sebagai berikut:
Al Jarjani mendefinisikan hadits qudsi sebagai berikut:
الحديث القدسي هو من حيث المعنى من عند الله تعالى ومن حيث اللفظ من رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو ما أخبر الله تعالى به نبيه بإلهام أو بالمنام فأخبر عليه السلام عن ذلك المعنى بعبارة نفسه فالقرآن مفضل عليه لأن لفظه منزل أيضا
Hadits qudsi adalah hadits yang secara makna datang dari Allah, sementara redaksinya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga Hadits Qudsi adalah berita dari Allah kepada Nabi-Nya melalui ilham atau mimpi, kemudian Rasulullah SAW menyampaikan hal itu dengan ungkapan beliau sendiri. Untuk itu, Al-Qur’an lebih utama dibanding hadits qudsi karena Allah juga menurunkan redaksinya. (At-Ta’rifat).
Sementara itu, Al-Munawi mendefinisikan hadits sebagai berikut:
الحديث القدسي إخبار الله تعالى نبيه عليه الصلاة والسلام معناه بإلهام أو بالمنام فأخبر النبي صلى الله عليه وسلم عن ذلك المعنى بعبارة نفسه
Hadits qudsi adalah berita yang Allah sampaikan kepada Rasulullah SAW secara makna dalam bentuk ilham atau mimpi. Kemudian Rasulullah SAW menyampaikan berita ‘makna’ itu dengan redaksi beliau. (Faidhul Qodir, 4/468).
Maka dari penjelasan dua ulama di atas ini, dapat disimpulkan hadits qudsi adalah firman Allah SWT tetapi hanya status yang membedakannya, yakni hadits qudsi tidak memiliki keistimewaan layaknya Al-Qur’an. Secara terperinci, perbedaan ayat Al-Quran dengan hadits qudsi sebagai berikut:
Al-Quran:
• Turun kepada Rasulullah SAW melalui Malaikat Jibril.
• Sifatnya qathi’ tsubut (pasti keabsahannya) karena semuanya diriwayatkan kaum muslimin turun-temurun secara mutawatir.
• Membacanya bernilai pahala, satu huruf Al-Quran bernilai sepuluh pahala.
• Teks dan maknanya berupa mukjizat dan tidak ada satupun yang bisa membuatnya.
• Sakral sehingga bagi orang yang mengingkari hukumnya dosa dan menjadi kafir.
• Harus disampaikan tanpa penambahan dan pengurangan huruf.
• Menjadi mukjizat Allah SWT untuk menantang masyarakat Arab.
Hadits Qudsi:
• Tidak harus melalui Malaikat Jibril. Bisa dari ilham maupun mimpi Rasulullah SAW.
• Tidak ada jaminan keabsahannya. Oleh karena itu, ada hadits qudsi yang shahih, ada yang dhaif, dan bahkan ada yang palsu.
• Tidak bernilai pahala kecuali niat untuk mempelajari sehingga bernilai ibadah.
• Teks dan maknanya bukan mukjizat sehingga orang bisa membuat hadits qudsi.
• Tidak sakral sehingga bisa saja orang tidak mau menerima hadits qudsi mengingat status perawinya tidak bisa diterima.
• Boleh disampaikan secara maknanya.
• Tidak digunakan sebagai tantangan kepada makhluk Allah lainnya.
Perkembangan Hadits
Beberapa ulama mengelompokkan perkembangan hadits sebagai berikut:
1. Hadits pada Zaman Rasulullah SAW
Hadits pada zaman Rasulullah SAW tentu langsung bersumber dari Rasulullah SAW. Seperti yang dijabarkan Fauzan Umam dalam karyanya, Sejarah Perkembangan Hadits Pada Masa Prakodifikasi dan Kodifikasi, metode Rasulullah SAW menyampaikan hadits kepada para sahabat Rasulullah SAW dijabarkan sebagai berikut:
• Para sahabat berdialog langsung dengan Rasulullah SAW.
• Para sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.
• Para sahabat mendengarkan perkataan dan menyaksikan perbuatan sesama sahabat yang bersumber dari Rasulullah SAW.
Saat itu, Rasulullah SAW melarang untuk menulis dan membukukan hadits seperti yang termaktub dalam hadits di bawah ini:
عَنْ اَبِيْ سَعِيْدُ الْخُدْرِي اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَكْتُبُوْا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيي غَيْرَ الْقُرْانِ فَلْيَمْحُهُ. رواهُ مسلمٌ
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda: janganlah engkau menulis (hadits) dariku, barang siapa menulis dariku selain dari Al-Quran maka hapuslah. (HR. Muslim)
Larangan tersebut bukan berarti tanpa alasan. Beberapa ulama menduga bahwa larangan Rasulullah SAW membukukan hadits karena pada saat itu, penurunan Al-Quran masih berproses. Oleh karena itu, para sahabat mengandalkan kemampuan daya ingat dan hafalan mereka untuk mengingat perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.
Namun, larangan menulis hadits tidak serta merta diberlakukan kepada para sahabat. Rasulullah SAW membolehkan sahabat di lain kesempatan sebagaimana termaktub dalam riwayat hadits berikut ini:
Abd Allah Ibn Umar, dia berkata: “Aku pernah menulis segala sesuatu yang kudengar dari Rasulullah SAW, aku ingin menjaga dan menghafalkannya. Tetapi orang Quraisy melarangku melakukannya.” Mereka berkata: “Kamu hendak menulis (hadits) padahal Rasulullah SAW bersabda dalam keadaan marah dan senang”. Kemudian aku menahan diri (Untuk tidak menulis hadits) hingga aku ceritakan kejadian itu kepada Rasulullah. Beliau bersabda:
اُكْتُبْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا خَرَجَ عَنِّي اِلَّا حَقٌّ
Tulislah, maka demi dzat yang aku berada dalam kekuasaannya tidaklah keluar dariku kecuali kebenaran.
2. Hadits Pada Masa Sahabat Rasulullah SAW
Setelah Rasulullah SAW wafat pada 11 Hijriah, praktis tampuk kepemimpinan umat Islam jatuh ke tangan para sahabat, yakni Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib (dikenal dengan al-Khulafa al-Rasyidin). Setelah era sahabat besar, menyusullah era sahabat kecil.
Di antara sahabat Rasulullah SAW yang masih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadits Rasulullah SAW ialah Aisyah istri Nabi (wafat 57 H/578 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin al-Khatthab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M).
Periode tersebut disebut dengan Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-riwayah yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat. Dalam praktiknya, cara sahabat Rasulullah SAW meriwayatkan hadits seperti berikut:
• Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh dari Rasulullah SAW dan karena sahabat hafal benar lafazhnya dari Rasulullah SAW.
• Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh aslinya dari Rasulullah SAW.
3. Hadits Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadits. Pada masa ini Al-Quran sudah terkumpul dalam satu mushaf dan sudah tidak bercecer di banyak tempat. Selain itu, pada akhir masa Al-Khulafa Al-Rasyidun, para sahabat ahli hadits telah menyebar ke beberapa wilayah sehingga mempermudah tabi’in untuk mempelajari hadits.
Para sahabat yang pindah ke daerah lain membawa perbendaharaan hadits sehingga hadits tersebar ke banyak daerah. Sentra-sentra hadits di masa tabi’in sebagai berikut:
• Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Aiyah dan Abu Hurayrah.
• Mekkah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Ibn ‘Abbas.
• Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Abd Allah Ibn Mas’ud
• Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Utbah Ibn Gahzwan
• Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Mu’ad Ibn Jabal
• Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-Ash
Pada masa ini muncul kekeliruan dalam periwayatan hadits dan mulai bermunculan hadits palsu, terutama pada masa kepimpinan Ali bin Abi Thalib. Faktor terjadinya kekeliruan hadits pada masa setelah sahabat itu antara lain:
• Periwayat hadits adalah manusia maka tidak akan pernah lepas dari kekeliruan.
• Terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadits.
• Terjadinya periwayatan makna oleh sahabat Rasulullah SAW.
Semoga dengan mengenal hadits secara kaffah, kita semua dapat memahami dan mengaplikasikan hadits Rasulullah SAW sebagai sumber hukum kedua dalam kehidupan sehari-hari.
Catatan: Dari berbagai sumber dan telah disunting sesuai keperluan.