Dalam Kehidupan sehari-hari sering sekali ketika dihadapkan kepada beberapa aktifitas yang ingin dan akan dilakukan, maka yang harus kita pahami terlebih dahulu  status hukum aktifitas tersebut, apakah wajib (harus dilakukan); sunah (dianjurkan untuk dilakukan); mubah (boleh dilakukan); makruh (dianjurkan untuk ditinggalkan); ataukah haram (tidak boleh dilakukan).

Pertama, yang haram bukan saja tidak boleh diprioritaskan tetapi tentu saja tidak boleh dilakukan sama sekali. Bila dilanggar sudah pasti mendapatkan murka Allah SWT dan di dunia —ketika syariat Islam kembali ditegakkan dalam naungan khilafah— maka tindak kriminal tersebut mendapatkan sanksi yang berat. Maka buang jauh-jauhlah keinginan atau pun tolak tegaslah bila ada yang mengajak mabuk, bertransaksi riba, pacaran, berzina, berjudi, membuka aurat dan keharaman lainnya.

Kedua, bila dihadapkan pada perkara wajib, sunah atau pun mubah. Maka tentu saja perkara wajib yang harus diutamakan. Kemudian lakukan yang sunah. Bila masih ada waktu bolehlah mengerjakan yang mubah. Karena bila kewajiban tersebut ditinggalkan akan mendapatkan dosa di sisi Allah SWT. Dan di dunia —ketika syariat Islam kembali ditegakkan dalam naungan khilafah— maka tindak kriminal tersebut mendapatkan sanksi yang berat.

Ketiga, bagaimana bila dihadapkan kepada dua bahkan tiga perkara wajib? Maka lihatlah waktu pelaksanaannya. Mana yang dapat dijadwal ulang, mana yang mau tidak mau harus dilaksanakan segera. Contoh: seorang istri —tanpa sepengetahuan suami— sudah membuat janji kontak dakwah pada hari tertentu dengan orang lain dan bukan di hari libur kerja suami. Tiba-tiba suami mengatakan di hari tersebut libur kerja dan ingin bersama istri.

Berdakwah wajib, menepati janji wajib, berbakti pada suami juga wajib. Maka istri harus segera menjadwal ulang kegiatan dakwahnya walaupun sudah membuat janji. Karena kewajiban seorang istri untuk mentaati suaminya sangat tegas dinyatakan dalam agama Islam. Hal ini tertuang dalam sabda Rasulullah SAW: Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Andai boleh kuperintahkan seseorang untuk bersujud kepada yang lain tentu kuperintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi no. 1159).